Mari Kita Kawal Revisi UU ITE di DPR RI
Masih ingat dengan kasus Prita
Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang dituntut ke pengadilan hanya gara-gara
menuliskan keluh kesahnya terhadap sebuah di sebuah Mailing list. Kasus yang
kemudian menjadi perhatian masyarakat ini menjadi salah satu kasus pertama digunakannya Undang-Undang ITE
untuk menjerat siapapun yang menyuarakan pendapatnya di publik. Undang-undang
ITE khususnya pasal 27 ayat (3) belakangan menjadi senjata bagi siapa saja yang
merasa nama baiknya dicemarkan untuk melapor kepada pihak yang berwajib dan
memenjarakan orang yang mencemarkan nama baiknya.
Inilah kira-kira gambaran dari
diskusi publik yang bertema Mengawal Bersama Revisi UU ITE di DPR RI. Dalam
diskusi yang dihadiri para blogger dan mahasiswa ini menghadirkan pembicara
yakni Asep Komarudin dari LBH Pers, Bayu Wardhana dari AJI Indonesia, Anwari
Natari dari Satu Dunia, serta Ezki Suyatno yang memberikan ulasan dari
perspektif korban. Ezki Suyatno kebetulan pernah menjadi korban pelaporan dari
seorang pejabat yang namanya merasa dicemarkan oleh Ezki di sosial media.
Bayu Wardhana menyoroti Undang-Undang
ITE pasal 27 ayat (3) dapat menjadi ancaman bagi kita untuk menyuarakan
pendapat di depan publik. Karenanya, kebebasan berpendapat baik melalui lisan
maupun tulisan yang kita miliki selama ini jadi begitu terasa sempit. Bila ada
orang yang merasa terganggu dengan pendapat kita maka hukuman penjara selama 6
tahun sudah menanti di depan mata. Pasal ini kemudian disebut dengan istilah
pasal karet karena isi dari pasal 27 ayat (3) ini dianggap terlalu bias dan
tidak jelas.
Bayu mencontohkan Blogger menjadi
kalangan yang rentan terhadap ancaman hukuman dari UU ITE ini. Selain karena
belum ada kode etik yang mengatur, para blogger ini juga tidak bekerja di bawah
satu perusahaan seperti yang dilakukan jurnalis. “Dalam membuat tulisan,
Blogger bisa saja dilaporkan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan dan ini
justru akan membuat takut para blogger untuk berkarya membuat tulisan” ungkap
Bayu.
Sebenarnya seperti apa sih bunyi dari Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE ini. Pasal ini berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan dan / atau menstransmisikan dan / atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan / atau pencemaran nama baik”.
Asep Komarudin, mengungkapkan, dari bunyi
pasal 27 ayat (3) ini kita dapat mengetahui jika siapapun dari kita akan
mendapat ancaman hukuman 6 tahun penjara jika menyebarkan informasi melalui
internet yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang. “ Pihak kepolisian bisa
langsung menahan kita jika dianggap mencemarkan nama baik seseorang karena dari
UU ITE ini ancaman hukumannya diatas 5 tahun” Ungkap Asep.
Sementara Ezki Suyatno yang pernah
mengawal kasus Prita dan Benhan bercerita kalau UU ITE Pasal 27 ayat (3) ini
seperti menjadi momok bagi kita yang hobi bermain sosial media di dunia maya
karena bila kita dianggap menulis sesuatu terus orang merasa tersinggung dengan
tulisan kita di sosial media maka siap-siap kita akan masuk penjara. “ Ini
sebenarnya apa sih, kita kan maunya menulis dan mengungkapkan apa yang kita
pikirkan di sosial media, kok tahu-tahu ada undang-undang yang bisa membuat
kita masuk penjara” ungkap Ezki gemas.
Para peserta terlihat antusias
mengikuti diskusi ini. Begitu sesi tanya-jawab tiba, mereka mengacungkan jari
untuk mendapatkan kesempatan bertanya kepada narasumber. Rasa ingin tahu mereka
seputar UU ITE terlihat begitu besar. Ini bisa dilihat dari
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, seperti ada peserta yang menanyakan
bagaimana proses saat misalnya kita dilaporkan karena telah mencemarkan nama
baik seseorang hingga ada yang member contoh kasus pencemaran nama baik yang
ada di sekitar tempat tinggalnya.
Dari diskusi ini kita semua
diharapkan untuk terus memberikan tekanan kepada DPR RI untuk segera merevisi
UU ITE karena apa yang didakwa dalam pasal tersebut sangat tidak jelas. Selain
itu, ada instrumen hukum lain yang bisa digunakan selain menggunakan UU ITE ini. Dalam KUHP misalnya, ada pasal-pasal yang mengatur pencemaran nama baik misalnya
pasal 311.
Jadi kalau ada KUHP yang mengatur
pencemaran nama baik, mengapa harus menggunakan UU ITE untuk menjerat para
pengguna internet. Bukankah lebih menyenangkan kalau kita bebas mengeluarkan
pendapat baik lisan maupun tulisan tanpa takut ancaman merasakan dinginnya
menginap di hotel prodeo.
Komentar
Posting Komentar